Jika Kebudayaan adalah realitas kehidupan masyarakat manusia yang meliputi tradisi-tradisi, pola perilaku manusia keseharian, hukum-hukum, pikiran-pikiran, dan keyakinan-keyakinan, maka kebudayaan yang tampak di sekitar kita secara umum masih memperlihatkan secara jelas keberpihakannya pada kaum laki-laki.
Orang boleh menyebutnya sebagai budaya patriaki. dalam kebudayaan ini, memapankan peran laki-laki untuk melakukan apa saja dan menentukan apa saja, di sadari atau tidak, mendapatkan kebenaran. sebaliknya, kaum perempuan dalam budaya seperti ini berada dalam posisi subordinat. Ia menjadi bagian dari laki-laki dan menggantungkan nasib hidupnya kepada laki-laki. otonomi perempuan berkurang.
Pada gilirannya, keadaan ini sering kali terbukti melahirkan sebuah proses marginalisasi, bahkan juga eksploitasi dan kekerasan atas kaum perempuan. ini terjadi dalam segala ruang; domestik maupun publik. Untuk menjelaskan soal subordinasi dan marginalisasi perempuan ini, kita dapat menyebut sejumlah pandangan dan fakta-fakta sosial budaya yang masih terus berlangsung. bahkan sampai saat ini. perempuan, terutama dari laki-laki yang menjadi suaminya. Ia adalah teman hidup dengan status di belakanh. Sesudah itu, suargo nunut neroko katut (ke surga atau neraka ikut suami). nasib perempuan (istri), dengan begitu benar-benar sangat tergantung pada laki-laki (suami). perempuan (istri) yang baik atau ideal dalam pandangan umum juga adalah yang penurut, selalu menundukkan kepalanya di hadapan suami dan tidak suka protes, perempuan yang nrimo, tanpa peduli apakah yang dilakukan suaminya benar atau salah. mereka rela membiarkan segala penderitaan di tanggung sendiri di dalam hati, di dalam batin. mereka berkeyakinan bahwa sikap dan pandangan yang demikian niscaya akan ada balasannya, yaitu balasan yang lebih baik kelak. sebaliknya, istri yang suka protes atau mengkritik di anggap sebagai perempuan lancang dan tidak baik.
Di masyarakat, terutama di pedesaan, juga masih berlangsung tradisi di mana orang tua mengawinkan anak perempuan yang masih di bawah umur.mereka menganggap mengawinkan anak dengan lebih cepat adalah lebih baik. banyak alasan yang dapat di kemukakan untuk soal kawin muda ini.
Boleh jadi, agar ia cepat lepas dari tanggung jawab orang tua. alasan ini biasanya lebih bersifat ekonomis. boleh juga, karena tekanan masyarakat. orang tua sering kali mendapatkan tekanan normatif dari masyarakat sedemikian besar untuk segera menikahkan anak gadisnya, karena nilai-nilai sosial budaya memandang tugas utama perempuan ialah berumah tangga, di dapur menjadi istri dan ibu. jadi, perkawinan di pandang sebagai semata-mata kewajiban sosial, dan bukan karena pertimbangan-pertimbangan lainnya, atau, boleh jadi, untuk menghindari bahaya hubungan seks pra-nikah, ini merupakan alasan moral keagamaan. ada pula pandangan yang menganggap bahwa hal itu justru merupakan kebanggaan orang tua, karena dengan begitu anak gadisnya " laku cepat" sebaliknya, menjadi perawan tua justru merupakan cap yang tidak mengenakkan telinga.
Mereka seakan tidak mau tahu bahwa kawin muda atau kawin di bawah umur tidak di izinkan oleh UU Perkawinan No. 1/1974. Pada sisi lain, keputusan untuk mengawinkan atau tidak mengawinkan juga sangat tergantung pada orang tua tertama laki-laki, pertimbangan anak gadisnya tidak lebih di anggap penting. lebih menyedihkan lagi, pandangan masyarakat tertentu.
Pada ruang publik, pekerjaan dan keringat kaum perempuan di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik atau sawah-sawah, di nilai dan di hargai lebih rendah dari yang diperoleh kaum laki-laki. Bahkan, pekerjaan-pekerjaan yang di berikan kepada perempuan justru pada sektor-sektor yang tidak membutuhkan kecerdasan dan ketrampilan tinggi. bagi perempuan yang bersuami, pekerjaan yang dilakukan hanya di anggap sebagai pekerjaan sambilan, karena tugas utamanya ialah mengurus hal-hal domestik. itu juga sebatas apabila di izinkan oleh suaminya karena di perlukan untuk mencari tambahan penghasilan.
dan yang paling menyedihkan lagi ialah fakta yang di ungkap oleh hasil penelitian BPS tahun 1995, yang menyebutkan bahwa hampir 50% perempuan di pedesaan bekerja sebagai pekerja yang tidak di bayar.
Lebih dari itu semua, peran perempuan dalam wilayah publik atau politik yang masih di batasi. meskipun telah terjadi perubahan lebihmaju, tetapi masih banyak pikiran-pikiran di masyarakat yang memandang perempuan tidak patut memposisikan diri sebagai penentu kebijakan atau pengambil keputusan di sektor publik, yang didalamnya terdapat kaum laki-laki. ketika di hadapkan pada pilihan untuk menentukan laki-laki atau perempuan yang pantas menjadi pemimpin maka pandangan yang muncul sering kali menafikan perempuan. pandangan yang di anggap lebih toleran ialah " SELAMA MASIH ADA LAKI-LAKI, MAKA LAKI-LAKI ADALAH PALING TEPAT " Realitas sosial budaya sebagaimana di kemukakan tersebut memperlihatkan secara jelas adanya relasi laki-laki dan perempuan yang asimetris, timpang, tidak setaara, dan diskriminatif. inilah yang kaum feminis sering di sebut sebagai ketidakadilan gender.
0 Komentar